“Bukan orang Bekasi namanya kalau dia tidak kenal KH.
Noer Ali“. ya itu adalah ungkapan yang sering saya dengar dari para
orang tua dulu. Sosok beliau sangat terkenal dimata orang bekasi karena
ia menjadi ikon kebanggaan masyarakat betawi (khususnya di
Karawang-Bekasi) pada masa revolusi. Beliau terkenal dengan sebutan
“Singa Karawang Bekasi” atau ada juga yang menyebutnya “si Belut Putih”.
Saya memang tidak banyak tau tentang sejarah beliau. Saya hanya dapat
kisahnya dari para orang tua. Beliau adalah seorang ulama dan pemimpin
pada zaman revolusi.
Kembali ke KH. Noer Ali, selain berjuang melawan penjajah beliau juga
memiliki pesantren At- Taqwa yang berpusat di Kampung Ujung Harapan
(dulu bernama Ujung malang) . Kini pesantren tersebut sudah memiliki
lebih dari 50 Cabang. Dan saya adalah orang yang termasuk salah satu
santri dicabangnya (At- Taqwa VIII).
Cerita perjuangan beliau begitu banyak yang saya dapatkan baik dari
para orang tua maupun guru . Ia
selalu bisa lolos/menghilang ketika ditangkap belanda (mungkin karena
itu kali ya dia berjuluk si belut putih), meriam-meriam belanda yang
tidak bisa meledak, murid-muridnya yang kebal peluru karena amalan wirid
dan ratibnya, dll. Beliau juga sangat terkenal di mata masyarakat non
muslim karena sikap tolerannya, hal itu dibuktikan ketika beliau sangat
melindungi masyarakat tiong hoa yang non Muslim dari penjajah Belanda.
Alhamdulillah pada 9 November 2006 akhirnya ia diangkat menjadi pahlawan Nasional, pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.
Alhamdulillah pada 9 November 2006 akhirnya ia diangkat menjadi pahlawan Nasional, pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.
Berikut sekilas dari biografinya:
KH. Noer Ali “Singa Karawang-Bekasi”
Sebagaimana biografi yang ditulis Ali Anwar, Noer Ali lahir tahun 1914 di Kp. Ujungmalang (sekarang menjadi Ujungharapan), Kewedanaan Bekasi, Kabupaten Meester Cornelis, Keresidenan Batavia. Ayahnya bernama H. Anwar bin Layu, seorang petani dan ibunya bernama Hj. Maimunah binti Tarbin.
Sebagaimana biografi yang ditulis Ali Anwar, Noer Ali lahir tahun 1914 di Kp. Ujungmalang (sekarang menjadi Ujungharapan), Kewedanaan Bekasi, Kabupaten Meester Cornelis, Keresidenan Batavia. Ayahnya bernama H. Anwar bin Layu, seorang petani dan ibunya bernama Hj. Maimunah binti Tarbin.
Meskipun ayahnya hanya sebagai petani, namun karena kemauan keras
untuk menuntut ilmu, Noer Ali pergi ke Mekah dengan meminjam uang dari
majikan ayahnya yang harus dibayar dicicil selama bertahun-tahun. Selama
enam tahun (1934-1940) Noer Ali belajar di Mekah.
Saat di Mekah, semangat kebangsaannya tumbuh ketika ia merasa dihina
oleh pelajar asing yang mencibir: “Mengapa Belanda yang negaranya kecil
bisa menjajah Indonesia. Harusnya Belanda bisa diusir dengan gampang
kalau ada kemauan!”. Noer Ali pun “marah” dan menghimpun para pelajar
Indonesia khususnya dari Betawi untuk memikirkan nasib bangsanya yang
dijajah. Ia diangkat teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar
Betawi di Mekah (1937).
Sekembalinya ke tanah air, Noer Ali mendirikan pesantren di
Ujungmalang. Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite
Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September
1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, Noer
Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia
menjadi Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan
Batalyon III Hisbullah Bekasi.
Bung Tomo saat itu dalam pidato-pidatonya dalam Radio Pemberontak
menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali sehingga selanjutnya ia dikenal
sebagai K.H. Noer Ali. Peranan pentingnya muncul ketika terjadi Agresi
Militer Juli 1947. K.H. Noer Ali menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di
Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan
tidak menggunakan nama TNI.
K.H.
Noer Ali pun kembali ke Jawa Barat jalan kaki dan mendirikan serta
menjadi Komandan Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya
di Karawang. Saat itu, Belanda menganggap tentara Republik sudah tidak
ada. Noer Ali meminta rakyat Rawagede untuk memasang ribuan bendera
kecil-kecil dari kertas minyak ditempel di pepohonan. Tentara Belanda
(NICA) melihat bendera-bendera itu terkejut karena ternyata RI masih
eksis di wilayah kekuasaannya. Belanda mengira hal itu dilakukan pasukan
TNI di bawah Komandan Lukas Kustaryo yang memang bergerilya di sana.
Maka pasukan Lukas diburu dan karena tidak berhasil menemukan pasukan
itu, Belanda mengumpulkan rakyat Rawagede sekitar 400 orang dan
kemudian dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat sehingga
banyak yang kemudian bergabung dengan MPHS. Kekuatan pasukan MPHS
sekitar 600 orang, malang melintang antara Karawang dan Bekasi,
berpindah dari satu kampung ke kampung lain, menyerang pos-pos Belanda
secara gerilya. Di situlah K.H. Noer Ali digelari “Singa
Karawang-Bekasi”. Ada juga yang menyebutnya sebagai “Belut Putih” karena
sulit ditangkap musuh.
Sebagai kiai yang memiliki karomah, Noer Ali menggunakan tarekat
untuk memperkuat mental anak buahnya. Ada wirid-wirid yang harus
diamalkan, namun kadang-kadang anak buahnya ini tidak taat.
Tahun 1948 Residen Jakarta Raya mengangkat K.H. Noer Ali sebagai
Koordinator Kabupaten Jatinegara. Ketika terjadi Perjanjian Renville,
semua pasukan Republik harus hijrah ke Yogyakarta atau ke Banten. Ia
hijrah ke Banten melalui Leuwiliang, Bogor. Di Banten, MPHS diresmikan
menjadi satu baltalyon TNI di Pandeglang. Saat akan dilantik, tiba-tiba
Belanda menyerbu. Noer Ali pun bersama pasukannya bertempur di Banten
Utara sampai terjadinya Perjanjian Roem-Royen.
Dalam Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Perang Kemerdekaan
1946-1949, Noer Ali diminta oleh Mohammad Natsir membantu delegasi
Indonesia. Selain itu, ia pun masuk ke luar hutan untuk melakukan
kontak-kontak dengan pasukan yang masih bertahan. Ketika pengakuan
kedaulatan ditandatangani Belanda, MPHS pun dibubarkan. Jasa-jasanya
selama masa perang kemerdekaan dihargai orang termasuk oleh A.H.
Nasution, yang menjadi Komandan Divisi Siliwangi waktu itu. Kemudian
dimulailah perjuangan K.H. Noer Ali dalam mengisi kemerdekaan melalui
pendidikan maupun melalui jalur politik.
Pemikiran Noer Ali untuk memajukan pendidikan di negeri ini,
sebenarnya sudah dimulai sejak ia mendirikan pesantren sepulang dari
Mekah. Setelah merdeka, peluang lebih terbuka. Tahun 1949, ia mendirikan
Lembaga Pendidikan Islam di Jakarta. Selanjutnya Januari 1950
mendirikan Madrasah Diniyah di Ujungmalang dan selanjutnya mendirikan
Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) di berbagai tempat di Bekasi, kemudian
juga di tempat lain, hingga ke luar Jawa.
Di lapangan politik, peran Noer Ali memang menonjol. Saat Negara RIS
kembali ke negara kesatuan, ia menjadi Ketua Panitia Amanat Rakyat
Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Tahun 1950, Noer Ali diangkat
sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara. Tahun 1956, ia diangkat menjadi
anggota Dewan Konstituante dan tahun 1957 menjadi anggota Pimpinan
Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Tahun 1958 menjadi Ketua Tim Perumus
Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung, yang
kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat.
Tahun 1971-1975 menjadi Ketua MUI Jawa Barat. Di samping itu, sejak
1972 menjadi Ketua Umum Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa
Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, ia bersikap sebagai pendamai,
tidak pro satu aliran. Dengan para kiai Muhammadiyah, NU, maupun Persis,
ia bersikap baik.[]
======
Penulis: Prof. Dr. Nina H. Lubis, M.S. adalah Guru Besar Ilmu Sejarah
Fak. Sastra Unpad/Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
Lembaga Penelitian Unpad/Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang
Jawa Barat. (jk/fb-fbr)
sumber : https://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/kh-noer-ali-penjaga-benteng-islam-bernama-bekasi.htm
Komentar
Posting Komentar